Friday, February 12, 2016

Jalan-jalan ke Makassar

Our first trip in 2016.
Ada libur Imlek di Februari dan libur satu hari di kalender akademik Mika, yuk mariii.. Jalan-jalan ke Indonesia Tengah dan pilihan kita adalah Makassar: 6-9 Februari 2016 [4 hari 3 malam].

4 hari di Sulawesi Selatan dengan itinerary kuliner Makassar, pantai Tanjung Bira, Rammang-Rammang (Maros).

Hari pertama Makassar-Malino pp
Setelah ditimang-timang, pergi-engga-pergi-engga ke Malino, akhirnya saya putusin pergi deh!

Tiba di Bandara Sultan Hasanuddin kita langsung dijemput sama supir dari Jojo Rent Car, Pak Efraim. Rental car ini saya dapatkan dari hasil pencarian di Google dan untuk biaya ada di catatan akhir. 

Tugas pertama, cari sarapan. Karena bingung antara pilih Coto Nusantara atau nasi kuning Riburane, akhirnya kita putuskan mengikuti usulan Pak Efraim yaitu sarapan nasi kuning di Warkop Mangkura atau yang lebih dikenal Warkop Lagaligo. Berdasarkan pengalaman Pak Efraim entah kenapa semua tamu yang dibawanya pasti ngerujuk ke nasi kuning Riburane (sepertinya nasi kuning Riburane lebih populer di situs kuliner Makassar) tapi setelah dibawa dan makan nasi kuning di Lagaligo hampir semua tamunya bilang lebih enak atau puas dengan nasi kuning Lagaligo ini. Jadiii sebagai tamu yang ga rewel, kita mah hayuk sajalah..
nasi kuning Lagaligo
dari yang bilang ga mau makan sampai akhirnya habis setengah porsi hehe
Dan saya (kami) pun setujuh, naskunnya Enak!! Ga pedes, porsi cukup dan harga ok! Top Pak! Ngeliat orang pesan bubur ayam sebetulnya saya kepengen juga tapi sudah kenyaang.. Si bocah yang awalnya bilang ga mau makan cuma minum aja, tapi setelah nyobain eh malah habis setengah porsi dong! (>.<)

Selesai sarapan kita langsung jalan menuju Malino Highland dengan lama perjalanan kurang lebih 3 jam. Alhasil, actual time Makassar-Malino Highland dengan rute jalan potong kompas tidak lewat kabupaten adalah benar 3 jam tetapi kalau sampai di daerah Malino saja (tidak sampai Malino Highland) kurang lebih 2 jam 30 menit. Tiba di sana, kami disambut hujan rintik-rintik. Baru keliling sebentar kabut langsung turun dan kita buru-buru masuk ke dalam Green Pekoe Cafe. Green Pekoe Cafe ini satu-satunya kedai yang ada di Malino Highland dengan pemandangan ke gunung teh. Kita pesan teh khas Malino, dari panas sampai dingin, sampai habis.. Hujannya ga berhenti ples kabut. Engga kelihatan apa-apa *hiks* perut laparrr, mau makan tapi menunya biasa banget trus harganya mahal banget + PPN 21%!! *gak sukaaaa*
gak keliatan apa-apa kaaan, kabutnya tebal
Green Pekoe Cafe tampak luar
Setelah nunggu kurang lebih 1 jam dan hujan mulai reda akhirnya kita putusin untuk balik ke Makassar saja.
Dalam perjalanan balik ke Makassar, Pak Efraim berinisiatif mau bawa kita ke salah satu bendungan terbesar di Sulawesi Selatan, Bendungan Bilibili. Apa mau dikata kalau alam sedang tidak bersahabat, tiba disana pun hujan malah tambah besar jadi yang ada kita hanya lewat di depan gerbang Bendungan Bilibili.

Tiba di Makassar sore hari, kami pun langsung check in di Fave Hotel Daeng Tompo. Ternyata, saya baru tahu kalau lokasi hotel kita dekat ke Pantai Losari, Mie Titi, restoran seafood, dan beberapa tempat kuliner lain. Semuanya "within walking distance"! Tsakeeep!! 

Mumpung di Makassar, saya juga janjian ketemuan sama teman ex-kantor lama sambil makan malam. Say hello to Jouna.. ^-^
Hari kedua, Makassar-Tanjung Bira, 2 hari 1 malam.
Setelah kemarin nyoba nasi kuning, sekarang yang lebih ekstrim, Coto!

Bukan Coto Nusantara atau Coto Gagak, tapi Coto Paraikatte (rekomendasi Pak Efraim lagi). Rasanya?!?.. Enak! Sampai sejauh ini hasil rekomendasi Pak Efraim ok! ^-^
Coto Paraikatte
Selesai sarapan kita langsung meluncur ke Tanjung Bira. Perkiraan waktu tempuh 5-6 jam. Wow, lumayan juga yah.

Pelajaran Geografi nih: dari Makassar ke Bira, kita akan melewati 5 kabupaten besar yaitu Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Bulukumba. Bira masuk di Kabupaten Bulukumba.

Masing-masing kabupaten punya ke-khas-annya sendiri.
Di Kabupaten Takalar, mayoritas penduduknya berjualan garam laut dan di beberapa spot pinggir jalan banyak penjual nasi ketan dalam bambu. Nah, kalau mau nyoba coto yang berbeda dari Makassar, di Kabupaten Jeneponto, banyak rumah makan dengan menu coto kuda! Yak, benar daging kuda! Hahaha...
Sedangkan di Kabupaten Bantaeng, sejauh yang saya perhatikan adalah kabupaten yang paling rapi, bersih dan teratur.

Total berhenti selama perjalanan tiga kali dan terakhir ketika kita masuk di Kabupaten Bulukumba, di Islamic Center Dato Tiro.
Akhirnyaaa.. setelah 5 jam perjalanan tiba juga kami di Tanjung Bira! Woohooo!!

Di Tanjung Bira, saya pilih hotel Amatoa Resort untuk tempat kami menginap. Dari beberapa review, hotel ini termasuk favorit dan agak susah untuk dapetinnya karena hampir selalu full terus walaupun secara nilai hanya 6.8. Penasaran deh..
best TV from our room
Dari sisi pemandangan, lokasi Amatoa ini memang Spectacular!! A-MAAAZING!! Di pinggir tebing gitu dan satu-satunya hotel di daerah Tanjung Bira yang ada kolam renang dengan view yang "Wowww!" Lokasi hotelnya jauh dari keramaian dan pantai tapi mereka punya akses tangga langsung ke laut. Kalau ga ada kendaraan agak ribet sih.

Kekurangannya: 
Khususnya di kamar kami (kamar No. 4), ada semacam taman kering dengan pasir dan akar-akaran warna hitam di dalam kamar mandinya, tamannya ini kok yah agak-agak 'menggangu' gimanaaaa gitu.. rada-rada spooky sih lebih tepatnya. Saya ga foto karena males setiap kali ngeliat atau ngebayanginnya. Kemudian AC di kamar ga dingin, entah apa karena di Bira panas banget atau memang tidak maksimal AC-nya [kayanya udah perlu di service deh]. Pada malam pun, AC ga terasa dingin. Untungnya hujan jadi agak mendingan. Terusss, banyak nyamuk dan serangga kecil-kecil eh, ditambah mati lampu beberapa kali. Oh ya, satu lagi.. ada WiFi, tapi sinyalnya bagus kalau di area reception saja, kalau sudah ke kamar sinyalnya on/off-on/off tergantung amal hehehe.

Dari segi pelayanan, karena kita ga ambil paket sarapan jadi kita tidak menyentuh area lobby atau restoran atau reception kecuali saat check in dan check out. 

Overall, Amatoa hanya bagus untuk dinikmati pemandangannya tapi kalau dari segi kenyamanan, saya setuju dengan nilai 6 itu (imho).
menunggu sunset yang tidak terlihat karena hujan dan berawan :(
Hari ketiga Tanjung Bira-Makassar.
Kurang lebih pukul 9, kami sudah meluncur balik ke Makassar. Searah menuju Makassar, kami menyempatkan mampir ke Tanah Beru. Di Tanah Beru mayoritas penduduknya adalah pembuat kapal Pinisi yang sudah turun temurun.

Pinisi adalah kapal layar tradisional khas asal Indonesia, yang berasal dari Suku Bugis dan Suku Makassar di Sulawesi Selatan tepatnya dari desa Bira kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba. Pinisi sebenarnya merupakan nama layar. Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Dua tiang layar utama tersebut berdasarkan 2 kalimat syahadat dan tujuh buah layar merupakan jumlah dari surah Al-Fatihah. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengarungi tujuh samudera besar di dunia.

Hebatkan..

Seperti lagu yang pernah kita dengar,
"Nenek moyangku orang pelaut.. Gemar mengarung luas samudra, menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa.."
Nah, kapal-kapal yang dibuat di Tanah Beru, khususnya kapal-kapal besar, bisa dibilang sudah ada pembelinya. Untuk membuat satu kapal dibutuhkan waktu 1 hingga 3 tahun!! Tergantung ukuran kapal. Dalam proses pembuatannya, seluruhnya menggunakan jenis kayu besi dan tidak memakai paku satu pun juga. "Yup, you heard it right! Not a single nail used to build the ship." Sebelum kapal dikirim ke pembeli dilakukan upacara pelepasan terlebih dahulu.

Sayangnya, ketika kami ada di Tanah Beru hanya ada satu kapal besar yang sedang dalam proses pembuatan sedangkan lainnya dengan ukuran lebih kecil dan satu kapal lain tidak boleh difoto.

Saat memasuki Kabupaten Gowa ternyata Museum Balla Lompoa (Balla = Rumah dan Lompoa = Besar; bahasa Makassar) yang artinya "Rumah Besar", rumah Sultan Hasanuddin, masih dibuka. Beruntung sekali! Biasanya, hampir semua museum tutup di hari Senin.
Museum Balla Lompoa adalah bentuk asli rumah Sultan Hasanuddin. Di dalam museum terdapat peninggalan-peninggalan kerajaan Gowa, silsilah kerajaan bahkan mahkota ratu Gowa pertama dan kita (saya dan suami) pun baru tahu, dari peta wilayah kekuasaan Kerajaan Gowa, ternyata bagian paling utara Australia pernah dikuasai Kesultanan Gowa tahun 1640. WAWW! *baru tahu jugakaaan* "tapi kok kenapa hal itu ga ada atau ga pernah disebut di pelajaran sejarah yah?"

Kalau sudah datang ke Museum Balla Lompoa semestinya tidak harus ke Museum Fort Rotterdam lagi, karena isi yang ada di dalam Museum Fort Rotterdam bisa dibilang sama dengan yang ada di Balla Lompoa, malah lebih otentik yang ada di Balla Lompoa. Begituuu kira-kira.
Setiba di Makassar, saya langsung menyampaikan pe-er kuliner saya ke Pak Efraim.

Pak, saya mau mampir ke Pallubasa Serigala, pisang ijo Bravo, cari oleh-oleh dan Pantai Losari (masa dah jauh-jauh ke Makassar yang jadi ikoniknya malah belum diliat). Rutenya silakan diatur saja bagaimana enaknya, pokoknya tempat yang saya sebutin itu HARUS dimampirin, hehehe..
Pallubasa Serigala
pisang ijo
pallubutung
foto wajib ke Makassar di Pantai Losari - "Turis!" ^-^
ditutup dengan Mie Titi
Hari keempat, hari terakhir.
Dimulai dari nol lagi yah.. Sarapan balik lagi ke Warkop Lagaligo. Kali ini saya mau cobain bubur ayamnya *nyamnyam*
Ah, ternyata biasa aja kalau bubur ayamnya. Layaknya bubur ayam di Jakarta. Jadi memang yang istimewa disini yah nasi kuningnya kalau menurut saya.

Rute hari ini agak padat. Pertama kita ke Fort Rotterdam *iya teteeep mampir kesini*. Areanya luaaaaassssss sekali. Disini kita juga ga lama dan ga masuk sampai ke dalamnya, karena isi yang ada di museumnya kan sama dengan yang ada di Museum Balla Lompoa. Kita hanya melihat ruangan yang dulu jadi penjara Pangeran Diponegoro dimana Beliau menghabiskan sisa hidupnya sampai meninggal selama 25 tahun. Sedih yah, dari seorang pangeran sampai akhir hidupnya dipenjara dan diasingkan sampai meninggal di kota bukan kota kelahirannya. Kalau lupa sejarah, buka-buka lagi deh..
Panasnya Makassar baru terasa poll hari ini.. *fiuhh*

Dari Fort Rotterdam, lanjut ke Leang Leang. Ini sebenarnya ga masuk di itinerary saya, tapi (lagi-lagi menurut Pak Efraim) Leang Leang atau yang lebih dikenal dengan Taman Prasejarah lebih bagus untuk dilihat dibandingkan Rammang Rammang.

Pemandangan menuju Leang Leang ini yang.. WOW banget!!! Ga cukup dengan kata-kata, difoto pun sebetulnya hasilnya tidak sebanding kalau ngeliat langsung. Silakan dinikmati saja gambar-gambarnya ^-^
Bebatuan di Leang Leang ini asli dari jaman dahulu yang terjadi dari proses alam puluhan atau ribuan tahun. Jadi ceritanya tuh dulu Sulawesi Selatan ini adalah lautan (berarti kita lagi diving nih sekarang hihihi), makanya kalau dilihat dari pohon-pohon yang tumbuh di atas gunung batu itu, kebayang gak terjadinya gimana sampai pohon saja bisa tumbuh di atas batu, bukan lumut yah.. God is Great! Batu-batu yang berceceran itu sebenarnya marmer! Makanya lokasinya dekat dengan beberapa pabrik marmer lokal dan pabrik semen Bosowa.
cap tangan manusia purba, infonya sih total ada 27 orang
itu yang berwarna pink semestinya gambar babi, agak susah emang ngeliatnya
Nah sekarang mari kita lanjut ke Rammang Rammang.
Dari tempat parkir mobil (sekarang sudah komersil sejak diambil alih Pemda setempat, bayar parkir mobil saja Rp.10ribu!) menuju ke Kampung Berua, harus naik perahu, tidak ada jalan darat atau alternatif lain. Tarif 1 perahu untuk 1-4 orang Rp. 200ribu. Aman asalkan jangan banyak bergerak.
Kita ga lama di Rammang Rammang karena agak-agak mepet sama jadwal balik ke Jakarta dan jalan menuju bandara saat itu macet karena harus ngelewatin pasar dan ada pekerjaan underpass. Jadi walaupun foto cepet-cepet dan seadanya, ok juga yah.. Alam sangat bersahabat dengan kami, lihat itu banyak hijau-hijaunya dan ga hujan. ^-^

Tips selama di Makassar:
  1. Makanan di Makassar enak-enak! Engga cuma coto, konro dan nasi kuning seperti yang sudah saya bahas, tapi jangan lupa cobain makan seafood di sana. Semua ikannya FRESH!! Cari ikan yang ga ada di Jakarta, trust me, Enak!! Otak-otaknya pun full ikan/tenggiri dan gendut-gendut.
  2. Budget sewa mobil per 12 jam dalam kota (diluar Bira, Malino dan Maros) biayanya Rp. 500ribu sudah termasuk bensin, kecuali tol, parkir dan tip (kalau mau ngasih). Yah, di Makassar ada tol, terutama dari bandara ke kota pp.
  3. Cuacanya. Karena SulSel dilewati garis khatulistiwa, bahkan di musim hujan pun humiditynya tinggi sekali seperti bernafas dalam air *engap* Bawa topi! atau jaket kalau gak mau item.
  4. Cari penginapan atau sewa mobil HARUS ada AC-nya!!
  5. Just enjoy!.. Nikmatin indahnya Makassar dan sekelilingnya, jangan sibuk sendiri dengan gadget :-P

Thursday, February 4, 2016

A dream is a wish your heart makes

said Walt Disney.. and I'm dreaming big to see the Northern Lights or Aurora Borealis.

Plan! Plan! Plan! Save! Save! Save! *-*

It's so far and so expensive. You may say I'm a dreamer, but I'm not the only one. I hope someday you'll join us and the world will be as one.. ^-^

So, which way? Norway or Finland or Iceland

(For your further) References and useful information:
  1. Service Aurora which has a clear explanation about when and where to find the Northern Lights
  2. 6 Best Places to see the Northern Lights in winter 2015/2016
  3. Northern Norway
  4. Norway Lights
  5. Taber Holidays
  6. Kakslauttanen Arctic Resort - is A-MAZZING! Loved! Loved! Loved! But I just found out that a lot of recommended lodgings in Inari have good reviews too (might consider staying here or there too) ^-^


All pictures are from here.